Sang profesor

Saya kebetulan dilahirkan dari keluarga yang miskin, nomer lima dari 8 orang saudara. Ayah saya adalah seorang tukang kayu sementara ibu saya hanya seorang ibu rumah tangga yang kadang menyambi jualan tauge di pasar. Kenapa saya katakan kadang-kadang karena ibu saya jualan tidak serius. Mungkin kecapean ngurus anaknya yang banyak.


Dengan demikian kondisi ekonomi keluargaku sangat kekurangan. Agar anak-anak bisa sekolah ayahku menitipkan anak-anaknya ke paman atau bibi. Alhamdulillah aku tidak termasuk anak yang dititipkan ke saudara. Melihat kondisi ekonomi yang demikian berat dan melihat nasib kakak-kakakku, Alhamdulillah timbul niat yang kuat pada diriku.”Saya harus terus sekolah. Apapun yang terjadi aku harus kuliah.” Tekadku ketika masih duduk di bangku SD.


Sampai sekarang saya tidak tahu apa yang menyebabkan sehingga mempunyai tekad semacam itu. Padahal ketika itu belum banyak pemuda didesaku yang kuliah. Kebanyakan mereka lulus SMA langsung berhenti. Walaupun mereka bersasal dari keluarga mampu.


Melihat kenyataan ekonomi orang tua yang demikian justru semangat kuliah it terus menggebu-gebu. Sehingga timbul sebuah keyakinan dalam hatiku “ dimana ada kemauan disitu ada jalan” dan “ dimana ada prestasi disitu akan dihargai.” Dua peribahasa itu sangat mendarah daging dalam jiwaku. Suatu peribahasa yang sering kita dengar ketika duduk di bangku SD. Tetapi tidak banyak anak yang terpengaruh dengan peribahasa itu. Mungkin ini disebabkan oleh cara mengajar yang salah. Guru kebanyakan hanya mengajar kulitnya saja, sedang makna yang hakiki tidak disampaikan. Sehingga murid hanya menghafal peribahasa atau kata-kata mutiara tanpa menegtahui untuk apa.


Saya berkeyakinan”salah satu cara agar kamu bisa kuliah, kamu harus pandai. Ya harus pandai. Tidak ada pilihan lain”. Berhubung saya anaknya orang miskin tentu makanan tidak banyak mengandung gizi. Tiap hari makan nasi gaplek dan jagung dengan lauk sayuran dan ikan asin maupun tempe. Sekali-kali makan telur jika mendapat”kiriman” telur angsa dari paman . Saya sering mendapat kiriman telur angsa dari paman saya yang tinggal didepan rumah . Angsa paman tidak dikandangkan maka jika bertelor disembarang tempat, salah satunya didepan rumah saya. Saya juga sering menemukan beberapa telor ayam kalkun di tegalan ketika mencari kayu bakar. Gak tahu ini halal apa gak ya?


Menu makanan yang tidak bergizi dan berasal dari keterunan keluarga miskin tentu otak saya tidak cerdas, saya sulit mencerna pelajaran. Namun, kesulitan itu tidak menyurutkan niatku untuk kuliah. Saya malah mempunyai semboyan”Jika orang cerdas belajar satu kali paham, biarlah saya harus mengulang sampai 20 x agar paham”. Karena itu saya menjadi keranjingan untuk belajar. Bagiku belajar adalah menyenangkan. Bagiku tiada waktu tanpa belajar.


Kegemaranku belajar bukannya disambut senang oleh ayahku tapi terkadang saya mendapat teguran yang menyakitkan. Maklum ayahku orang miskin, mungkin dibenaknya yang ada adalah jika mau makan harus kerja.

Sebenarnya bukannya saya tidak mau membantu meringankan beban orang tua. Sayapun turut mencangkul disawah menanam padi,tebu ketela , mencari kayu bakar dan menggembala kambing. Namun walaupun bekerja saya tetap membawa buku sehingga ayahku marah. Meskipun sikap ayah demikian, namun tidak mampu menggoyahkan semangatku untuk belajar.


“ Her,kamu ini bagaimana. Belajar terus, memang kamu bisa hidup dengan makan buku. Sana bantu ibu!” bentak ayah pada suatu pagi ketika musim liburan. Padahal dari pagi saya sudah membantu menyapu rumah dan mengisi bak air untuk masak. Daripada mendapat omelan terus, saya akhirnya pergi kesawah dan duduk dibawah pohon bambu sambil belajar.


Meski saya sudah berusaha dengan keras namun saya belum bisa menempati rangking pertama ketika di SD. Saya hanya menduduki rangking ke 3 kebawah. Tetapi saya merasa bersyukur penghargaan pak Guru terhadapku tidak kalah dengan yang rangking 1 atau 2. Mungkin beliau tahu bahwa itu merupakan usaha keras saya.


Saya tidak tahu persis kenapa ketika duduk di SD dipanggil dengan julukan professor. Saya sangat menikmati julukan itu karena sesuai benar dengan mimpiku yang ingin kuliah.

Barangkali julukan itu dipakai untuk memanggilku karena aku sering terlihat membawa buku kemana-mana. Untung gak dipanggil, kutu buku. Walau artinya baik namun namanya jelek” Kutu buku’ ah sebuah nama yang tidak enak didengar.Tetapi jika panggilan professor, uh keren. “Mau kemana prof?” rasanya enak didengar.

Saya benar-benar terobsesi dengan sebutan itu. Sampai-sampai saya mencukur rambut bagian depan, sehingga jidat saya nampak lebar. Ketika itu saya mempunyai kesan, bahwa seorang professor itu berkacamata dan berjidat lebar.


Membayangkan peristiwa itu saya jadi terheran-heran, bagaimana saya sampai mempunyai ide memvisualisakan mimpi yang ingin diraih. Padahal saya belum pernah mendengar atau membaca buku tentang teori kesuksesan yang menyarankan agar mimpi yang dimiliki divisualisasikan sehingga akan tumbuh mendarah daging di hati dan pikiran kita.

“bersambung”

Semoga bermanfaat.

See you in the top

0 comments:

Posting Komentar