Menentukan pilihan

Pagi ini udara terasa segar sekali. Angin berhembus dengan lembut. Tanpa terasa tanganku basah karena embun. Pagi ini kabut memang banyak sekali. Sehingga pandangan mata hanya mampu menembus beberapa meter saja. Suasana seperti ini memang sering terjadi. Namun kabut pagi ini nampaknya yang terlebat dari hari-hari sebelumnya.

Saya dan kang Daman menikmati sekali udara pagi ini. Selesai sholat subuh dan berjalan-jalan menghirup udara pagi memang nikmat. Udara bersih dan sejuk seakan menembus sampai paru-paru. Sehingga benar-benar terasa menyegarkan.

Kami tidak mengalami kesulitan untuk bangun pagi untuk sholat subuh di masjid, karena saya dan banyak anak-anak didesa kami suka tidur dimasjid.

“ Kang, mau melanjutkan sekolah kemana” tanyaku kepada kang Daman, temanku sekelas di Madrasah Tsanawiyah . “Gak tahu nih, mau melanjutkan atau tidak” Jawabnya pendek. Kang Daman anak seorang pedagang sapi, walaupun ekonomi keluarganya terbilang mapan, namun anak-anaknya tidak ada yang sekolah sampai SMA. Sehingga jika kang Daman mengikuti jejak kakak-kakaknya adalah wajar. Selain itu orang tuanya juga sangat sederhana didalam mendidik anak-anaknya.
“Kang jika kita gak melanjutkan sekolah kita nanti mau jadi apa?, Mau kamu jadi buruh tani. Orang tua kita miskin, tidak mempunyai sawah yang luas. Gimana kalau kita melanjutkan ke SPG saja. Siapa tahu nanti kita bisa jadi guru.” Kataku menyemangati.
“Boleh juga?” jawabnya pendek

Namun kami mengurungkan niat mendaftar di SPG,karena ternyata pesertanya cukup banyak. Sementara kami hanya seorang lulusan Madrasyah, rasanya sulit untuk bisa bersaing dengan anak-anak lulusan SMP. Yah. Kalah sebelum bertanding..Akhirnnya kami memilih sekolah di PGA( Sekolah Guru Agama Islam) Madiun, jaraknya cukup lumayan dari rumah kami 13 km. Perjalanan sejauh itu kami tempuh dengan naik sepeda ontel. Cukup melelahkan. Apalagi jika musim kemarau udara panas dan angin sangat kencang. Ditambah lagi ketika pulang kami melawan arah angin. Sungguh berat rasanya.

“ Her, bukannya kamu nanti ingin kuliah. Kenapa kamu sekolah di PGA. Nanti kami kesulitan masuk ke perguruan tinggi. Mestinya kamu masuk SMA atau MAN” ada bisikan dalam hatiku, setelah 2 bulan sekolah di PGA.. Itulah gunanya mimpi yang sudah mendarah daging. Dia akan mengingatkan ketika kita salah melangkah. Oleh karena itu saya segera banting setir, pindah ke MAN Rejosari, yang berafiliasi dengan MAN Takeran. Sedangkan Kang Daman tetap sekolah di PGA dan sekarang benar-benar jadi Guru agama Islam.

Alhamdulillah saya tidak mengalami kesulitan pindah ke MAN. Orang tua saya tidak mempersalahkannya. Semuanya diserahkan saya. Sementara pihak sekolahan MAN juga tidak ada masalah karena kepala sekolahnya adalah paman sendiri. Guru-gurunyapun sudah saya kenal dengan baik, karena mereka sebagian besar juga mengajar saya ketika saya di Madrasah tsanawiyah. Sehingga saya tidak perlu menunggu pergantian semester.

0 comments:

Posting Komentar