Titik Balik

Pada perjalan hidup seseorang kadang diliputi suatu peristiwa sedih yang sangat membekas dalam hidupnya. Bagi sebagian orang ternyata peristiwa sedih, kecewa, dan duka ini mampu dijadikan sebagai langkah awal atau titik balik untuk merubah arah kehidupannya. Sehingga peristiwa sedih itu tidak berujung pada duka yang berkepanjangan. Namun berubah menjadi nikmat. Ya tepatnya sengsara membawa nikmat.
Saya memiliki seorang teman yang hanya lulusan SMP namun, cukup sukses dalam hidupnya. Karena penasaran terhadap pencapaian yang dia lakukan maka saya mencoba mengetahui latar belakangnya. Ternyata dia bisa mencapai kesuksesan seperti sekarang ini dikarenakan rasa marahnya terhadap bibinya.

Ketika masih kecil, dikarenakan sulitnya ekonomi orangtuanya, dia diikutkan bibinya. Ketika ikut sang Bibi kesehariannya adalah mencari rumput dan kayu bakar.Pada suatu hari, ketika dia mau berangkat ke sawah belum sarapan, dia mencahut ketela pohon sang Bibi yang ada dipekarangan belakang rumah, lalu dibakar bersama teman-temannya. Namun kejadian itu diketahui oleh bibinya, dan beliau marah besar. Kata kata kotor dan pedas dari mulut sang Bibi sangat melakui hatinya. Lalu teman saya itu kabur dan pergi ke Jakarta. Hingga akhirnya dia memiliki rumah makan padang yang sangat laris.
Ketika merenungi hidup saya ternyata, disepanjang perjalanan, saya sering menggunakan kekecewaan dan kesedihan sebagai titik balik. Saya menjadikan peristiwa-peristiwa sedih yang menimpa pada diri saya sebagai pembangkit energy sehingga seakan saya tidak kekurangan energy tidak kekurangan semangat untuk menggapai kehidupan yang lebih baik.
Ketika mendapati saya dilahirkan dari keluarga miskin, saya terpacu untuk keluar dari belenggu kemiskinan. Energy yang muncul dari semangat ini memunculkan ide untuk menjadi seorang sarjana. Untuk menggapai keinginan tersebut muncullah tekad yang luar biasa yang mampu menumbuhkan semangat belajar yang tinggi. Saya tidak peduli berapa lama dan berapa sering saya harus belajar. Saya bawa buku kemana mana. Sambil mengembala kambing, mencari kayu bakar, menyangkul di sawah buku selalu menyertai saya. Sehingga sampai-sampai saya dijuluki sebagai professor. Julukan Professor itu bukannya menyurutkan saya untuk belajar, namun justru mendorong saya terus giat belajar. Julukan professor itu mendorong saya mengerik rambut di dahi saya. Sehingga nampak lebih lebar bak Professor beneran.
Ketika, saya duduk di kelas satu semester satu Madrasah Aliyah ( setingkat SMA ), saya mendapatkan masalah. Nilai olah raga di rapor hanya 5. Ketika saya konfirmasi ke guru olah raga, katanya karena saya tidak ikut ujian olahraga. Padahal saya merasa ikut ujian olah raga.Namun diakhir pertemuan sang guru mengingatkan ke saya, jika nilai olah ragaku nanti di semester 2 dapat 5 lagi maka saya tidak akan naik kelas.
Saya mengartikan peringatan ini sebagai ancaman. Saya mengartikan guru ini dendam kepada saya, terhadap kejadian salah nilai ketika di Madrasah Tsanawiyah ( setingkat SMP). Karena tidak nyaman dengan ancaman itu akhirnya saya pindah ke sekolahan lain. Ternyata disekolah baru ini saya mendapatkan nikmat. Saya langsung menjadi rangking satu dari kelas satu sampai kelas 3. Saya menjadi rangking satu itu bukan karena saya pintar tetapi karena teman-teman yang dibawah setandar. He he he.. Namun kepuasan mendapat rangking 1 itu tidak menyurutkan saya untuk terus dan terus belajar, karena target saya bukan disini. Target saya adalah perguruan tinggi negeri.
Kejadian lain adalah ketika saya mendapatkan rasa malu yang luar biasa. Bagaimana gak malu saya tidak bisa ngomng apa-apa ketika disuruh maju kedepan sewaktu latihan pidato. Ya Allah, ngomong didepan teman sendiri saja tidak bisa keluar. Dada bergemuruh seakan mau meledak. Kejadian ini membuat semangat saya bangkit. “Lip, katanya kamu ingin jadi sarjana. Lalu sarjana macam apa jika kamu tidak bisa bicara didepan umum. Bagaimana kamu bisa menjadi pemimpin, jika tidak bisa bicara didepan umum?” kata-kata itu terus mengiang-ngiang dalam hatiku, sehingga mampu mendorongku untuk terus dan terus latihan pidato. Sebagai endingnya saya dipilih membawakan sambutan sebagai wakil kelas 3 ketika pelepasan murid kelas 3, dihadapan rastusan orang. Padahal banyak teman-temanku yang ahli dalam berpidato.Dan yang lebih menyenangkan, ketika turun dari podium ada kata-kata yang menyejukkan dari seorang ibu dari adik kelas yang dulu sempat saya taksir. “ Nak, Pidatomu bagus”
Kejadian berikutnya adalah komentar yang jelek dari teman saya sewaktu di Madrasah aliyah. “ Lip, kamu memang pintar, tapi kamu angkuh dan sombong.”. Komentar ini laksana petir ditelinga saya. “angkuh dan sombong” benarkah saya demikian? Jika saya angkuh dan sombong apa modal saya? Saya anaknya orang gak punya apa yang saya sombongkan? Apa itu mungkin karena sipat pndiam saya, sehingga saya tidak mau bergaul akrab dengan teman-teman. Apa itu karena saya tidak mau diajak mbolos sekolah? Atau itu karena saya tidak mau dicontekin? Namun dalam hatiku sebenarnya aku juga ingin mempunyai teman, pergi bersama-sama, bercanda-canda layaknya anak muda lainnya. Namun saya tidak mau mengorbankan masa depanku dan cita-citaku. Bagiku satu-satunya cara agar aku bisa kuliah adalah masuk diperguruan tinggi negri lalu mendapat biasiswa.
Namun, kata-kata itu mampu membuat diriku berubah dari pendiam menjadi ceria, bersahabat dengan teman-teman, setelah saya menemukan jawabannya dari sebuah buku “bahasa perasaan”. Saya teringat dalam buku tersirat kalimat”Janganlah kamu mengatakan seseorang itu sombong atau angkuh sebelum kamu menyapanya. Jika setelah kamu menyapanya tapi dia tidak membalas sapaan kamu, baru kamu bisa mengatakan dia itu sombong dan angkuh”. Ahai, saya menemukan jawabanya. Ternyata selama ini saya pendiam dan salah dalam mengamalkan sebuah Hadist yang berbunyi. “jika kamu tidak bisa berkata baik lebih baik diam” Sejak itu saya mulai menyapa orang lain. Dan sebagai endingnya, ada kata kata yang menyejukkan dari seorang adik kelas setelah setengah tahun tidak bertemu” Lip, makan apa aja selama ini. Sungguh kamu telah berubah banyak.”
Kejadian ke lima, ketika saya bekerja. Diawal-awal saya bekerja, tempat kerja saya bagaikan neraka saja layaknya. Saya bekerja disebuah perusahaan kecil, dimana, pemiliknya suami, istri dan orang tuanya bekerja disana. Namun si istri mempunyai temperamen tinggi. Orangnya gugupan, mudah marah dan kiler. Banyak orang yang tidak bisa bekerja sama dengan dia, termasuk saya. Hampir setiap malam saya mimpi buruk, sampai sampai kakak saya menyarankan untuk pindah kerja saja.
Namun kejadian ini saya menantang saya. “Saya harus bisa menaklukkan dia.” Tekad saya dalam hati. Lalu saya bekerja sebaik mungkin. Saya mengerjakan apa saja. saya berusaha dengan keras bagaimana agar perusahaan ini bisa berkembang dan maju. Akhirnya sang suami suka dengan kerja saya. Pada saat itulah sang istri tidak bisa berbuat semena-mena dengan saya, sehingga saya minta pada sang suami agar sang istri kerja dirumah saja. sejak saat itu perusahaan terasa adem ayem penuh dengan kedamaian.
Itulah beberapa kisah sedih, yang jika kita menyikapinya dengan cara yang baik, bukan menjadikan kesedihan yang berkepanjangan. Namun justru mampu menjadi titik balik dalam hidup untuk menuju kehidupan yang lebih baik lagi. Jadi jika anda mengalami kepahitan, dan kegetiran hidup, jangan bersedih. Jadikan apa yang anda alami itu sebagai penyemangat hidup. Jadikan semua itu sebagai energy yang tiada habisnya untuk menggapi kehidupan yang lebih baik.
Semoga bermanfaat
See you at the top

0 comments:

Posting Komentar