Ketika saya duduk di bangku Madrasah Aliyah, sekolah agama setingkat SMA, salah seorang temanku mengatakan, “Kamu itu angkuh dan sombong”. Setelah mendengar kata-kata yang tidak enak didangar itu, saya bukannya tersinggung tetapi merenung.
Benarkah saya angkuh dan sombong. Bukankah tidak sebaliknya dia yang angkuh dan sombong. “ Bagaimana saya bisa sombong dan angkuh, wong tampang saja tidak punya. Apalagi kekayaan, bayar SPP saja sering telat, baju saja sering tidak dimasukkan, bukan karena bandel, tetapi karena malu untuk menutupi celana yang sobek bagian pantatnya.”
Lalu apa yang menyebabkan saya dikatakan angkuh dan sombong?.” Apa karena saya pendiam?, Tidak suka bergaul, apalagi yang sipatnya hura-hura.Tidak mau menyapa orang, karena saya tidak mau basa-basi?”
Ya, kalau kesan sombong dan angkuh itu disebabkan oleh sikap seperti diatas, memang benar. Saya mempunyai sipat itu. Tetapi sikap tersebut timbul karena obsesiku tentang masa depan. Saya dilahirkan dari keluarga miskin, dengan delapan saudara. Saya ingin kehidupanku nanti tidak ingin seperti itu. Saya ingin kaya, saya ingin makmur saya ingin sukses.
Ketika itu satu-satunya jalan yang bisa mengantarkan saya menuju kesuksesan dan kekayaan yang saya inginkan adalah, kuliah. Tetapi saya menyadari, tidak mungkin bisa kuliah, karena biaya tidak ada. Namun, alhamdulillahnya saya, mempunyai jalan keluar. “Dimana ada kemauan disitu ada jalan. Dimana ada prestasi, maka akan dihargai. Saya benar-benar menerpakan pepatah tersebut.
Tetapi karena saya keluarga miskin, makananyapun tidak bergizi, sehingga otakpun tidak cerdas. Namun,alhamdulilllah saya dibekali oleh Allah kemauan yang keras untuk belajar. Sehingga ketika orang cerdas, mungkin belajar satu kali sudah bisa paham, bagi saya belajar sepuluh kali pun tidak masalah.
Sikap yang demikian, membuat waktu saya banyak tersita untuk belajar. Tidak ada waktu untuk bermain. Tidak ada waktu untuk bercanda, kongkow-kongkow dengan teman. Bahkan ketika pergi ke sawah, mencangkul membantu orang tua, mengembala kambing, mencari kayu bakar, saya membawa buku.
Tuduhan teman, bahwa saya orang angkuh dan sombong, itu benar-benar menggangu pikiran saya. Hatiku jadi gelisah. Karena saya juga ingin punya teman. Lantas apa yang harus saya lakukan untuk menghilangkan tuduhan tersebut? Apakah saya harus, lebih banyak bersama mereka? Mau ikut kemana saja mereka pergi? Lalu bagaimana dengan masa depan saya?
Tidak , saya tidak mau menggadaikan masa depan saya dengan pertemanan. Saya tidak mau masa depan saya hancur, demi membuat teman-teman mau menerima saya.
Lalu bagaimana agar saya bisa terlepas dari sebutan itu, tetapi tidak mengorbankan masa depan? Alhamdulillah akhirnya saya menemukan sebuah buku yang berjudul “ Bahasa perasaan”.
Kata-kata tersebut dengan sungguh-sungguh aku prektekkan. “Ya kamu harus memulai menyapanya terlebih dahulu. Kamu harus berbasa-basi.” Kataku dalam hati. Sejak itu setiap saya ketemu siapapun yang saya kenal, saya beranikan diri untuk menyapanya terlebih dahulu. Mulai dari Assalamu alaikum, mau kemana? Bagaimana kabarnya? Dan seterusnya.
Pembaca, buku adalah sumber inspirasi. Buku adalah guru yang tidak pernah bosan mengajarimu, sampai anda mengerti. Buku adalah guru yang akan mengajarimu apa saja, apapun yang anda mau. Karena itu berakrablah dengan membaca buku. Tidak masalah berapa banyak yang dapat anda pahami dari sebuah buku.
Cukup satu ide saja yang dapat anda ambil dari sebuah buku, lalu anda dengan sungguh-sungguh menerapkanya dalam kehidupan anda. Saya yakin kehidupan anda akan jauh lebih baik, bahagia, kaya, sukses dan berkah.
Semoga bermanfaat.
See you in the top
0 comments:
Posting Komentar