Sepulang dari Masjid sehabis sholat subuh, saya berpapasan dengan tetangga rumah yang sedang menenteng tas.”Assalamu alaikum pak Haji?” ucap sang tetangga dari kejahuan yang melihat saya lebih dahulu. Karena suasana masih agak gelap sehingga saya tidak seberapa jelas melihat wajahnya ketika dia masih berada di kejahuan.
“Waalikum salam, aduh tumben pagi-pagi sudah berangkat. Mau kemana? Tanya saya setelah jarak kami cukup dekat dan berjabat tangan. “Mau yales pak Haji. Nih produk sudah jadi sekarang tinggal memasarkannya. Pak haji kan banyak buku-buku tentang sales kan. Entar bisa pinjam pak haji, ya.”
“Boleh?!, sudah lama tidak kelihatan di Masjid. Kemana saja mas?”
“Ini pak haji sedang menyelesaikan produk ini.”
“ oooh, kenapa sampai tidak pergi ke Masjid?. Sayang kan. Kita kan tahu,yang membagi rizki itu Allah. Kenapa kita tidak melibatkan Allah untuk mempelancar rizki kita?”
“Pusing pak Haji, perut minta diisi, istri marah-marah terus”
“lo, justru sedang pusing, susah dan perut lapar itu mestinya tambah dekat dengan Allah. Sholat di Masjid. Bukan malah ngumpet?!”
Tetangga saya yang satu ini memang agak keras kepala. Dia ingin menjual produk yang berasal dari hasil karya sendiri. Padahal, ketika melihat produknya, menurut saya sangat tidak layak untuk dijual. Saya sudah sering menasihatinya.”Pak, anda berkeinginan menjual produk hasil karya sendiri itu bagus. Namun menurut saya, sekarang saatnya belum tepat. Anda sudah tidak bekerja, istri tidak bekerja. Saat ini yang perlu dipikirkan dahulu adalah bagaimana caranya agar ada pemasukan. Jika anda ingin usaha sendiri, cara yang mudah adalah dengan menjual produk orang lain. Anda bisa menjual langsung dapat uang atau pemasukan”
Namun kata-kata saya tersebut, nampaknya tidak dicerna baik-baik. Dia tetap keras kepala untuk membuat produk sendiri. Pagi ini dia dengan bangga menujukkan produknya pada saya. Sementara ketika melihat produk buatannya, saya sungguh merasa kasihan. Adakah orang yang mau membeli produk dia?
Rupanya dia lebih suka memilih jalan yang berliku dan terjal untuk menggapai suatu tujuan. Padahal ada jalan yang lebih lebar, mulus dan dekat untuk mencapai kesuksesan. Apakah dia tidak dapat melihatnya? Jika benar dia tidak mampu melihat jalan yang lebar, mulus dan dekat itu, bukankah saya telah menunjukkannya berkali-kali?
Saya sering berjumpa dengan orang yang stagnant dalam hidupnya. Setelah mempelajari karakter mereka, nampaknya mereka hampir mempunyai karakter yang sama, yaitu Malas, keras kepala dan perhitungan. Jika mereka keras kepala pada prinsip yang benar barang kali itu baik. Namun keras kepala dalam prinsip yang salah, tentu akan membuat hidupnya akan tetap sengsara.
Demikian semoga bermanfaat
See you in the top
0 comments:
Posting Komentar